Friday, December 29, 2006

Pentingnya hati...

Inilah kali kedua saya menulis blog...Sampe sekarang, saya masih mencari-cari dan memiliah-milah, kira-kira hal apa yang perlu, bisa, harus, atau bahkan tak bisa ditulis di blog... Hmmm... Saya coba dengan cerita yang dialami saya kemaren (15/11)...
Hari deadline bagi orang yang bekerja seperti saya adalah hari yang pasti akan sangat hectic. Tak peduli alasannya, pekerjaan harus sudah bernas sebelum naik cetak. Jika itu tak dipenuhi, tanggung jawab moral kepada para pembacalah yang jadi taruhannya.Dulu saya pikir, untuk bekerja, otak (baca: rasionalitas) lebih dibutuhkan dibandingkan kolega lainnya. Tapi, dalam pekerjaan seperti yang saya geluti, otak menjadi nomor dua bila dibandingkan hati. Bagaimanapun, pekerjaan ini sangatlah mengandalkan kemampuan otak kanan saya. Dan, otak kanan itu punya hubungan sangat erat dengan hati. Jika hati merasa tentram, peredaran darah ke otak kanan pun menjadi lancar. Efeknya, jari-jari ini akan menari riang di atas keyboard yang dipakai. Tapi apa jadinya ketika perasaan dalam keadaan tak menentu? Jangankan untuk menyelesaikan sebuah artikel. Untuk memulai atau mencari kata pembuka bahkan judul saja sulit meski bahan sudah menumpuk di depan mata.
Namun ternyata, tak hanya pekerjaan seperti saya yang membutuhkan ketentraman hati agar bisa lancar bekerja. Semua pekerjaan pun demikian. Mungkin secara gaji pekerjaan yang saya jalani tidaklah sebesar saudara atau teman-teman saya yang bekerja di korporasi lain. Tapi banyak dari mereka yang mengaku iri dengan pekerjaan saya ini. "Maneh sih ngeunah Lu boga pagawean nu sarua jeung hobi. Urang, gawe di bank ngan ukur jeung ngabungahan kolot. Teu kahatean." Ga ngerti? :p Ini terjemahannya. "Kamu sih enak Lu punya pekerjaan yang sesuai dengan hobi. Saya kerja di bank hanya untuk menyenangkan orangtua. Hati saya tidak di sini."
Itu kata salah seorang saudara saya. Beberapa teman lain juga mengeluhkan hal serupa. Kemudian saya berpikir, memilih pekerjaan yang sesuai dengan hati pasti akan lebih senang menjalaninya. Jika hati sudah riang, tentu pekerjaan sesukar apa pun akan mudah diselesaikan. Stress tentu akan malas berdekatan. Berbeda dengan pekerjaan yang memang alasan orang memilihnya karena materi yang ditawarkan atau karena tuntutan orang lain. Hati tentu tak akan tentram karenanya. Ujung-ujungnya, meski mungkin secara materi melimpah, stress dan penyakit menjadi kawan akrab. Seperti rekan saya yang dulu pas zaman sekolah dan kuliah sangat antirokok, kini dengan tuntutan dari orang lain terhadap pekerjaan yang tak disukainya, dia menjadi perokok berat...sangat berat...
Fiuh... Cape juga bikin postingan... Padahal ini baru kedua...
(15/11/06)

No comments: