Wednesday, January 17, 2007

Indonesia Raya...


Kemarin saya mengikuti pelatihan yang diadakan di kantor. Temanya adalah tentang Motivasi dan teknik Coaching orang. Bukan hasil akhir yang membuatku terkesan. Tapi cara instruktur itu memulai pelatihan. Dia memulainya dengan mengajak semua peserta berdiri kemudian menghadap Sang Merah Putih (Bukan Sang Saka Merah Putih, Pasal 35 UUD 1945) sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya.

What an amazing...
Bukan lantaran saya sudah lebih dari 8 tahun tak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia itu. Tapi, saya merasakan energi positif ketika menyanyikan lagu yang dibuat pada 1928 itu secara bersama-sama, khidmat, dan penuh perasaan. Meski saya belum memberikan jasa besar bagi negeri ini, tapi saat itu saya merasakan hal yang sama dengan apa yang dialami Taufik Hidayat ketika merebut medali emas pada Olimpiade Athena 2004 lalu.
Apakah upacara seperti itu jika dilakukan di rumah akan menghadirkan kegairahan yang sama? Keesokan paginya, saya mencoba mengulangi ritus itu sendiri. Yang menjadi pembeda adalah saya melakukannya dengan diiringi lagu Indonesia Raya yang disiarkan salah satu televisi nasional ketika membuka hari. Hmmm... energi yang sama kurasakan juga. Hal yang membuatku membuka hari dengan semangat.

Saya pun berpikir, apa jadinya apabila seluruh rakyat Indonesia melakukan ritus itu setiap paginya? Mungkin efeknya akan sama dengan yang biasa orang Jepang dilakukan di pagi hari, ketika membungkuk ke arah matahari setiap pukul 7 pagi. Ingat, dengan kebiasaan itu, Jepang kini menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.

Saya berandai-andai saja. Andaikan kebiasaan menyanyikan Indonesia Raya, bisakah negara ini maju seperti bangsa Jepang? Bisa jadi. Sebab, jika dilihat dari masalah sumber daya, Indonesia jelas lebih kaya dibandingkan Negeri Bunga Seruni itu, baik sumber daya alam pun manusia. Masalah kepintaran pun bisa diadu. Beberapa siswa dari negeri ini sanggup meraih medali emas pada olimpiade ilmu pengetahuan yang notabene diikuti negara-negara besar di seluruh dunia. Soal fisik pun kita jelas lebih hebat dibandingkan negara yang pernah menjajah kita selama 3,5 tahun itu.

Lantas, apa yang membedakan kita dengan Jepang? Mental.... Akibat penjajahan yang lama menimpa negeri ini, mental bangsa kita tetaplah seperti kurcaci. Sikap positif yang ada terkungkung oleh paradigma negatif yang telah ditanamkan ke otak kita sejak bayi. Ketakutan dan kekhawatiran masih menjadi salah satu faktor penimbang kita dalam menetapkan keputusan. Tanpa sadar, terbentuk LOW TRUST SOCIETY di negeri ini.

Apa hubungannya dengan Indonesia Raya? Mungkin tidak akan langsung mengubah dogma dan paradigma yang telah mengakar di masyarakat kita. Tapi, lagu itu setidaknya bisa membangkitkan ghirah alias semangat juang kita dalam menyikapi hidup. Setidaknya sejak kita menyanyikan lagu itu hingga terlelap kembali. Mungkin jika itu dilakukan berkali-kali dan bersifat umum, lambat laun kita bisa menjadi bangsa yang setidaknya lebih maju dari saat ini.

Setidaknya, itulah yang dirasakan saya ketika menyanyikan lagu karangan Wage Rudolf Supratman itu. Sekali-kali, cobalah Anda mencobanya? Tapi, beri tahu dulu orang rumah, rekan satu kost, atau pasangan Anda. Alih-alih ingin membangkitkan energi positif, namun justru dianggap "negatif" :p

Saya tak pantas dipuji...

Setelah nyaris tiga minggu, inilah kali pertama saya kembali mengisi blog. Whoaaam.... nulis apa ya....Hmmm... kali ini saya akan coba membahas soal pujian....Setelah saya mempublish blog, ternyata saya paham dengan makna Alhamdulillahirabbil'alamin (Segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam) ketika kita mendapatkan pujian. Pujian memang seharusnya hanya milik Allah. Kita bisa berbuat baik lantaran berkat rahmatnya. Tapi, bukan itu pengalaman saya dalam mencari makna dari ayat kedua Surat Al-Fatihah itu. Begini ceritanya...

Setelah mempublish blog, beberapa rekan memuji (meski tak sedikit juga yang mengkritik) tulisan saya. Baik melalui tool comment atau melalui Yahoo Messenger pun sms. Alih-alih saya senang, saya justru merasa terbebani dengan pujian yang didapat. Pujian itu membuat saya berpikir, "Benarkah tulisan saya layak untuk dipuji?" Jika memang demikian, hal itu benar-benar akan membuat saya semakin terbebani. Itu berarti, saya sudah punya benchmark di hadapan sidang pembaca yang memuji blog saya. Secara tidak sadar, ketika saya menulis, benchmark itulah standar minimal mutu tulisan saya.

Keadaan itu jelas membuat saya harus memeras otak lebih dalam untuk membuat tulisan di blog. Bukan lantaran saya gila pujian, tapi frame seperti itu seakan tertanam dengan sendirinya di alam bawah sadar. Unconciusly, saya menjadi terbebani ketika hendak menulis tulisan di blog. (Tapi tetap bukanlah apologi karena saya tak menulis lebih dari dua minggu di blog ini :p)

Itulah penggalan cerita saya mencari makna sesungguhnya dari kata Alhamdulillahirabbil'alamin. Sebagai seorang makhluk yang sarat kekurangan, pujian hanyalah akan membenani dan semakin melemahkan kita. Karena itulah, untuk meringankannya, kita kembalikan pujian itu kepada Sang Pemilik Hati. (Ini sekadar pengertian dari persepsi saya. Setiap orang tentu punya pengalaman pribadi masing-masing dalam mengurai wahyu - baik tersirat maupun tersurat - dari Sang Pencipta).

Tuesday, January 2, 2007

Saddam Hussein


Innalillahi wa innailaihi ra'jiuun

Terlepas dari kejahatannya selama memimpin Irak lebih dari dua dekade lamanya, ada beberapa hal yang membuat Saddam tetap layak mendapat penghargaan.

Pertama, dia merupakan pimpinan dunia yang sangat ditakuti Amerika Serikat. Ketika dia memimpin Irak, siapa pun Presiden AS yang memimpin, selalu menaruh perhatian lebih terhadap Saddam. Dialah yang bisa menciptakan "keseimbangan" terhadap (sok unjuk) kekuatan Paman Sam setelah Uni Soviet runtuh.

Kedua, karisma. Karisma Saddam sangatlah luar biasa. Itu bisa ditunjukkan saat dia berbicara dengan tamu negara di istananya. Saddam adalah orang yang tak suka bicara dengan orang yang bertopang kaki. "Saddam sangat tidak suka tamu yang seperti itu," jelas Ali Alatas, mantan Menlu RI usai melakukan kunjungan negara ke Irak. Karena karisma Saddam-lah, kaki saat pertama datang, Ali Alatas sangatlah nervous.
Ketidaksukaan Saddam itu ada benarnya. Dengan karismanya, tamu yang datang bisa gugup. Bayangkan jika tamu itu bertopang kaki? Tentu akan terlihat kakinya bergoyang-goyang di hadapan Saddam. Melihat kursi yang sangat dekat. tentu goyangan kaki itu akan mengenai kaki Saddam. Tampaknya inilah alasan utama Saddam, tak suka tamu yang bertopang kaki :p

Karisma Saddam ternyata tak hanya dirasakan tamu yang langsung berhadapan dengannya. Hal itu setidaknya dibuktikan masyarakat Indonesia. Saat (alm) Tabloid Mingguan MONITOR mengadakan polling tokoh idola, Saddam berada dalam 10 besar. (Tapi anehnya, kok bisa ya Soeharto berada di peringkat teratas dan Muhammad SAW di posisi ke-10)

Turut berduka cita atas meninggalnya Saddam Hussein, mantan pimpinan militer dan pemerintahan tertinggi Irak.