Tuesday, November 25, 2008

Sanksi Yang Mendidik?

KOMISI DISIPLIN PSSI akhirnya mengambil sikap tegas. Rabu (19/11), komdis merilis vonis PSIR Rembang terkait dengan kerusuhan yang dilakukan oleh para pemainnya. PSIR tidak boleh mengikuti segala kompetisi di bawah naungan PSSI selama dua tahun!

Vonis itu memang terbilang berat. Namun, jika melihat penyebabnya, sanksi itu terbilang wajar. Saat dijamu Persibom Bolaang Mongondow, segerombolan pemain PSIR yang tidak puas langsung menganiaya wasit. Akibatnya, wasit Muzair mengalami luka-luka.


Vonis itu tembuat PSIR otomatis terdegradasi ke Divisi II. Selain itu, beberapa pemain Dampo Awang juga mendapatkan sanksi yang nyaris serupa. Stanley Mamuaya dilarang beraktivitas di lapangan hijau seumur hidup. Sementara tiga pemain lain bernasib sama dengan klubnya, yakni dilarang beraktivitas sepak bola selama dua tahun.

Dilihat dari proses pembelajaran, sanksi itu memang setimpal. Bagaimanapun, tindakan yang dilakukan oleh para pemain PSIR itu sudah kelewatan.

Namun, jika ditilik dari kacamata humaniora, sanksi itu terbilang sangat berat. Secara langsung, vonis itu menghentikan sumber pemasukan utama pemain. Sudah menjadi rahasia umum, rata-rata pebola Indonesia belum dibekali kecakapan lain di luar teknik sepak bola.

Secara tidak langsung, sanksi itu juga bisa mematikan roda perekonomian di Kota Rembang. Bisa dibayangkan, berapa banyak orang yang menatap pertandingan sepak bola dengan mata berbinar lantaran menjadi wadah sumber penghasilan mereka.

Mulai dari penjual kaus sepak bola, tukang mie ayam, tukang gorengan, hingga pedagang asongan yang mendapatkan berkah dari sebuah pertandingan sepak bola. Mereka itulah yang menjadi korban tidak langsung dari vonis larangan bertanding.

Bak buah simalakama. Menjatuhkan vonis yang mendidik memang tak ubahnya mencari jarum di tumpukan jerami. Jadi, daripada pusing mencari, lebih baik jangan menjatuhkan jarum di dekat kandang kuda yang banyak tumpukan jeraminya.

Dengan kata lain, sebaiknya pebola bisa menerima sebuah putusan wasit dengan lapang dada. Andaipun putusan wasit itu salah, sudah ada lembaga yang akan memproses dan mengadilinya jika salah.

Namun, untuk membangun sikap besar hati itu juga harus didukung oleh PSSI selaku induk sepak bola tanah air. Tunjukkanlah komitmen yang lurus dalam memajukan sepak bola tanah air. Tanpa sikap itu, jangan harap kedewasaan sikap akan cepat terbentuk meski sudah ada sanksi yang mahaberat. (jalu)

Wasit (Jangan) Selalu Disalahkan

LANTARAN dikenal sebagai korps baju hitam, wasit sering menjadi kambing hitam hasil akhir suatu pertandingan. Di liga mana pun di kolong langit ini.

Kendati wajah sudah berganti menjadi Indonesia Super League (ISL), lagu lama soal detonator keributan di stadion tetaplah sama. Buruknya kualitas wasit.

Tak perlu dihitung jumlah laga yang berakhir dengan keributan karena buruknya kualitas wasit. Dampaknya bisa langsung terlihat. Mulai dari keributan yang dilakukan oleh suporter hingga pengejaran wasit oleh oknum pengurus klub.


Toh, bukan hanya di Liga Indonesia - yang sama dengan status negara kita sebagai negara dunia ketiga alias negara berkembang, polemik soal wasit pun menyentuh kompetisi yang diklaim terbaik di dunia. Premier League dan Serie-A. Dalam beberapa pekan terakhir, wasit selalu dituding menjadi biang kegagalan sebuah tim.

Di Inggris, manajer Manchester United Sir Alex Ferguson dan manajer Newcastle United mengkritik performa wasit ketika timnya bertanding. Di Italia, pelatih AC Milan Carlo Ancelotti juga merutuk kegagalan timnya meraih poin di Via del Mare, kandang Lecce, akhir pekan lalu disebabkan ketidakjelian wasit.

Berkaca dari kasus Sir Alex dan Kinnear, kritikan yang datang secara bertubi-tubi kepada wasit itu langsung menimbulkan kekhawatiran dari para petinggi Premier League. Para petinggi FA dan Premier League memang berempati dengan kekecewaan yang dialami para manajer. Karena itulah, mereka meminta para manajer itu bersikap dengan lebih dingin ketika merasa timnya dirugikan oleh putusan wasit. Toh, ada institusi khusus yang berwenang untuk menindak korps baju hitam itu.

Bayangkan, ketika kritikan itu hanya diucapkan secara lisan - maksimal gesture dengan menunjuk, FA sudah meminta para manajer itu untuk bersikap lebih sopan.
Bandingkan dengan di Indonesia yang sampai mengejar wasit hingga terbirit-birit.

Ada perbedaan besar dari pelampiasan ketidakpuasan wasit di Liga Indonesia dengan di Premier League atau di Serie-A. Mana yang harus lebih dulu dibenahi? PSSI beserta korps baju hitam? Atau malah mendewasakan sikap insan sepak bola tanah air? Sama sulitnya dengan menjawab mana yang lebih dulu, telur atau ayam. (jalu/Foto: Getty Images)