Friday, May 9, 2008

Tinju pun kalah keras



“Apakah Anda pikir tinju adalah cabang olahraga paling keras? Salah. Sepak bolalah cabang olahraga yang paling keras.”

Jangan terjebak. Tulisan ini bukanlah membahas perkembangan sepak bola di Indonesia. Liga sepak bola yang lebih mirip ajang jual beli pukulan dibandingkan seluruh turnamen tinju di negeri ini. Jumlah turnamen tinju di tanah air mungkin kalah dalam hal jumlah. Kadang hal itu berlangsung tidak fair. Sebab, baku-pukul itu tak terjadi satu lawan satu. Melainkan beberapa orang. Malah, kadang satu orang wasit menjadi korban bogem mentah dari banyak pemain.

Melihat keadaan itu, wajarkah apabila sepak bola dikatakan lebih keras dibandingkan cabang olahraga tinju itu sendiri? Bisa jadi.

Tapi, jangan dilihat dari sudut pandang pertandingan di Liga Indonesia. Secara global, dengan menepikan kekerasan yang kadang terjadi, sepak bola tetap lebih keras dibandingkan tinju.

Tak percaya? Simak pernyataan Vladimir Klitschko, seorang juara tinju sejati asal Ukraina yang memegang sabuk kelas berat versi IBF, WBO, dan IBO.

Seperti ditulis The Telegraph, Klitschko hadir di salah satu boks eksekutif pada laga antara Chelsea versus Manchester United di Stamford Bridge, Sabtu (26/4) lalu. Dia hadir di markas Chelsea itu setelah sebelumnya menghadiri “Fight for Peace”, proyek amal yang digagas Laureus Sport for Good Foundation. Proyek untuk mengarahkan para remaja di Docklands, wilayah di timur Inggris, untuk menyalurkan energi berlebihnya via tinju atau olahraga bela diri lainnya dibandingkan tawuran di jalanan.

Dalam perjalanan ke Stamford Bridge dan ditemani manajernya Berndt Bunte, Klitschko berkata kepada Gareth A. Davies, salah seorang jurnalis The Daily Telegraph, “Apakah Anda pikir tinju adalah cabang olahraga paling keras? Salah. Sepak bolalah cabang olahraga yang paling keras.”

Apa yang membuat Klitschko berpendapat seperti itu? “Pertama, pertandingan sepak bola disaksikan lebih dari satu miliar lebih penduduk dunia. Para pemain pun bekerja sama dengan orang-orang yang sebenarnya bukanlah menjadi pilihan mereka. Jangankan lawan, mereka pun tak bisa memilih dengan siapa akan bekerja sama dalam satu tim,” ulas petinju yang dalam spell Inggris ditulis Wladimir Klitschko ini.

“Para pemain bola juga mendapatkan tekanan sepanjang waktu. Setiap saat sepak terjang mereka di dalam maupun di luar lapangan menjadi sorotan publik,” tambah Klitschko. “Di dunia tinju tidaklah demikian. Aku masih punya waktu untuk hal-hal pribadi dan waktu untuk persiapan jika mau ada pertandingan. Media justru akan ‘menjauhkan’ diri ketika aku akan menghadapi sebuah pertarungan. Sekali lagi aku tegaskan, sepak bola lebih keras dibandingkan tinju,” tandas Klitschko.

Setelah melihat pertandingan The Blues versus Red Devils, Klitschko tentu akan tertawa lebar lantaran pernyataannya terbukti benar. Di rerumputan Stamford Bridge, terlihat tekanan besar dialami kedua tim. Ketika mencetak gol pembuka, sontak Michael Ballack meluapkan emosinya dengan membuka kostum The Blues. Ganjaran kartu kuning tak dihiraukan lantaran baginya mencetak gol ke gawang MU lebih penting dibandingkan peringatan wasit.

Namun, tekanan paling besar tentu dirasa oleh para pemain MU yang posisinya kian terjepit oleh The Blues. Tak heran, ketika merasa dirugikan wasit, mereka melakukan protes keras. Bahkan, rasa emosi itu masih tetap terbawa hingga beberapa hari setelah pertandingan.

Hanya saja, emosi yang ditunjukkan kubu MU itu masih kalah dibandingkan jika situasi seperti itu terjadi di Liga Indonesia. Kalah dewasa maksudnya. Saling dorong hingga baku-pukul menjadi hal yang jamak.

Hmmm… tampaknya program “Fight for Peace” juga perlu diadakan di Indonesia. Terutama untuk para pemain. (*)