Tuesday, November 3, 2020

Wednesday, June 16, 2010

Piala Dunia dan Cewek Jalan Beriringan

Gong Piala Dunia dimulai. Pesta olahraga terakbar di dunia itu telah menyebarkan virusnya per 11 Juni 2010. Beragam tempat di belahan dunia ini menjadi epidemi selama satu bulan lantaran penyebaran virus tersebut.

Miliaran orang, utamanya cowok, langsung terjangkit demam Piala Dunia. Hati-hati buat Kaum Hawa. Virus yang menjangkit para pria itu bisa saja membuat beberapa perempuan menjadi kebutuhan sekunder bagi pasangannya.

Survey memang mengatakan demikian. Berdasarkan hasil penelitian sebuah lembaga perceraian online di Inggris, tingkat perceraian suami-istri meningkat signifikan selama penyelenggaraan dan beberapa hari usai Piala Dunia.

Dalam keadaan normal tanpa adanya Piala Dunia, sekitar 10 persen pasangan terpaksa pisah karena urusan sepak bola. Nah, sebanyak 11 persen dari surveyee juga percaya jika Piala Dunia bakal mengguncangkan hubungan dengan pasangannya.

Sebuah survey dilakukan di sebuah situs fans Arsenal. Hasilnya cukup membuat teling para perempuan panas. Sebagian besar para lelaki itu mengatakan jika Piala Dunia lebih penting daripada pacaran bahkan pernikahan sekalipun.

“Hasil survey itu tak terlalu mengejutkan. Sebagai seorang fans, saya pernah pulang dengan gembira karena tim kesayangan menang. Tapi begitu sampai rumah, sebuah sepatu dilayangkan istri kepada saya,” kelakar Mark Keenan, salah satu penggagas survey tersebut, kepada in2town.

Hasil yang lebih mencengangkan terjadi di Inggris. Dari survey yang dilakukan produk milkshake Frijj, para pria banyak memiliki nazar yang aneh-aneh jika Steven Gerrard cs mampu menjadi juara Piala Dunia.

Sebanyak 12 persen pria rela tak berhubungan seks selama satu tahun jika Inggris juara Piala Dunia. Sedangkan 10 persen lainnya berani memutuskan pacarnya demi menyaksikan kejayaan Inggris. Gilanya lagi, 51 persen pria yang disurvey itu mau menolak tawaran kencan semalam dengan Cheryl Tweedy, mantan istri Ashley Cole! (Oh men... she’s so cute gitu loh?!)

Hal yang sama juga terjadi di Jerman. Dari survey yang dilakukan Reader’s Digest, para fans Der Panzer lebih memilih menyaksikan final Piala Dunia jika Jerman ke final dibandingkan bercumbu dengan pasangannya. Dan,, hanya 5 persen dari surveyee yang mau nonton laga tersebut bersama pasangannya.

Itu di negara yang tim nasionalnya lolos ke perhelatan Piala Dunia. Bagaimana di negara yang hanya bisa sebagai penonton selama penyelenggaraan event tersebut? Idem ditto.

Dari Israel, jaksa Abraham Azrielant yang spesialis mengurusi perceraian menemukan fakta bahwa Piala Dunia mempunyai dampak negatif terhadap stabilitas pernikahan. Terutama jika sang kepala keluarga adalah fans fanatik sepak bola.

Dari survey yang dilakukan usai penyelenggaraan Germany 2006, pengajuan surat perceraian yang mampir ke pengadilan meningkat 55 persen. Sebagian besar sang istri yang mengajukan surat permohonan cerai.

Bagaimana dengan Indonesia? Belum ada satu pun lembaga survey yang melakukannya. Tapi, mungkin saja ada dampak negatif Piala Dunia dalam sebuah hubungan, meski tak berujung pada perceraian.

Idealnya, Piala Dunia dan cewek bisa berjalan beriringan. Jangan sampai Piala Dunia mengganggu hubungan kasih yang telah dijalin. Tapi sebagai fans sepak bola, tentu tak mau terjadi pengekangan dari pasangan yang membatasi niat menonton Piala Dunia, coz cuma 4 tahun sekali!

Cara yang cukup bener adalah dengan mengajak pasangan nonton bersama. Misal, jika Kamu apel dan biasanya nonton bioskop, kini beralihlah ke siaran langsung sepak bola. Lumayan, Kamu bisa cukup lama berada di rumah pacar. Dari pertandingan yang kick-off jam 18.30 WIB hingga laga kedua yang selesai pada pukul 23.00 WIB (kalau tak malu bisa saja lanjut untuk nonton laga yang dimulai 01.30 WIB).

Dengan begitu, dua niatan utama terlaksana. Menonton Piala Dunia jalan, wakuncar alias waktu kunjung pacar pun tak berkurang. Malah bisa lebih lama dan murah meriah. Calon mertua pun tak waswas karena toh nontonnya di rumah dia.

Bagaimana dengan yang sudah mempunyai istri? Intensitas hubungan intim ’kan bisa terganggu? Tak perlu khawatir, bawalah TV ke dalam kamar tidur dan ajak pasangan menyaksikan pertandingan. Dan, rayakanlah ”gol” secara bersama-sama. Hehehe...

Selamat menyaksikan Piala Dunia...

Monday, November 2, 2009

Saya itu kufur

Hampir setiap malam, saya menghabiskan waktu di depan komputer
Mulai dari mengerjakan pekerjaan rutin atau sekadar berselancar di situs jejaring pertemanan

Sering, saya menghabiskan malam untuk memenuhi hobi membaca
Mulai dari novel, kumpulan cerpen, majalah, hingga biografi orang terkenal

Tak jarang, sepertiga malam yang terakhir saya habiskan untuk memenuhi hobi saya yang lain
Menikmati pertandingan sepak bola, mulai dari sekadar menonton hingga bermain di game

Entah sudah berapa lama saya memberikan waktu untuk segala urusan duniawi itu
Entah sudah berapa puluh hari jika diakumulasi saya tak pernah mengalokasikan waktu untuk mengingat Sang Pencipta di malam hari
Sudah banyak kesempatan yang saya sia-siakan

Padahal disebutkan, sepertiga malam terakhir adalah kesempatan terbaik untuk manusia bermunajat kepada Sang Mahamengetahui
Tapi, saya tak pernah sedetik pun memanfaatkan peluang emas itu
Saya terlalu terbuai oleh segala urusan duniawi hingga sama sekali tak terbetik di hati untuk mengingat-Nya

Saya telah kufur...
Kufur akan nikmat-Mu yang demikian mewah
Kufur terhadap kesempatan yang telah Engkau berikan

Fabi-ayyi ala irabbikuma tukaziban
Then which of the blessings of Your Lord will you both deny?

Ahh...
Saya sampai malu untuk mengatakan hal ini,
Semoga Allah SWT selalu memberikan ampunan atas segala kesalahan dan kekhilafan yang telah saya perbuat. Amin...

Tuesday, October 20, 2009

Liverpudlian dan Reina Tak Salah

ADA kejadian menarik dari lanjutan Premier League pekan ke-9, Sabtu (19/10). Kejadian itu terjadi di Stadium of Lights, kandang Sunderland.

Ketika pertandingan baru kurang dari 5 menit, seorang bocah Liverpudlian melempar sebuah balon atau bisa dibilang bola pantai berlogo Liverpool. Tak salah apa yang dilakukan bocah itu.

Sebagai seorang fans, sah-sah saja melakukan tindakan untuk mendukung tim kesayangannya. Termasuk juga bocah itu.

Lemparan bola pantai dilakukannya tentu dengan alasan sekadar memberikan bantuan moril bagi The Reds yang tengah tercecer dari persaingan juara. Bola pantai berwarna merah itu dianggap refleksi doa dari harapan Liverpudlian cilik itu dan juga jutaan fans Liverpool lainnya.

Sayangnya, tak selamanya ekspektasi bisa dipenuhi. Bola pantai merah yang idealnya menjadi pemicu semangat justru malah menjadi penyebab kekalahan Liverpool di kandang The Black Cats.

Tendangan Darren Bent, secara teknis, seharusnya bisa ditepis Pepe Reina. Namun, bola sepakan itu terlebih dulu membentur bola pantai yang ada di sekitar Daerah 6 Meter, kotak penalti Liverpool.

Alhasil, tendangan Bent berubah arah setelah menyentuh bola pantai itu. Uniknya, Reina justru bergerak ke arah bola pantai, bukannya mengantisipasi bola sepakan striker Sunderland itu.

Dari kacamata ilmu pengetahuan, tindakan yang dilakukan Reina tidaklah salah. Bagaimanapun, mata akan lebih mudah menangkap objek/benda yang berwarna lebih terang. Karena itulah, wajar apabila kiper Liverpool itu melakukan refleks yang mengarah ke kanan, arah bola pantai bergulir.

Gol Bent itu menjadi satu-satunya pembeda dari hasil kedua tim. Jelas, kekalahan menyesakkan harus diderita Liverpool. Namun, manajer Rafael Benitez (sudah) bisa berbesar hati menyikapi kekakalahan timnya itu.

"Hal seperti itu bisa terjadi ke tim mana pun. Andai kami tampil lebih baik, seharusnya kebobolan dengan cara seperti itu tidaklah masalah," ujar Benitez.

Liverpudlian cilik yang melempar bola tidaklah pantas dieprsalahkan. Justru pengadil di lapangan yang seharusnya jeli membaca situasi.

Pada Law of the Game FIFA Ayat 2, sudah disebutkan dengan jelas. "Bila ada sebuah bola tambahan selagi laga berjalan masuk lapangan dan mengganggu jalannya laga, wasit harus menghentikan pertandingan dan mengeluarkannya bola itu sedini mungkin."

Berkaca dari aturan itu, wasit Mike Jones yang menjadi pengadil saat itu seharusnya langsung tanggap begitu ada bola lain yang masuk lapangan. Namun, dia malah berkeyakinan untuk meneruskan laga dan akhirnya terciptalah gol tersebut.

Kesalahan fatal itu lantas berakibat fatal bagi Jones, tak cuma Liverpool. "Pangkat" dia harus turun. Tak lagi menangani pertandingan Premier League, namun hanya dipercaya untuk laga Divisi Championship - kasta kedua Liga Inggris.

Saturday, July 18, 2009

Mimpi Menapaktilasi Messi

Tak banyak pemain sepak bola yang memiliki kesempatan tampil di sebuah laga puncak. Terlebih itu adalah laga pamungkas dari kompetisi sepak bola tertinggi di Benua Kuning, Piala Asia. Tapi, kesempatan emas itu datang menghampiriku.

”Kamu saya cantumkan dalam daftar pemain cadangan untuk pertandingan final besok,” tegas pelatihku, pada makan malam bersama seluruh pemain dengan Wakil Presiden RI, sehari sebelum pertandingan.

Begitu kalimat itu selesai diucapkan pelatih, ada aliran darah yang deras mengalir ke seluruh tubuhku. Jantungku tampaknya bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan hati ini sehingga dengan semangat tinggi memompa seluruh darah dari bilik jantung ke seluruh tubuh.

Bagaimanapun, bisa berada dalam daftar pemain untuk final Piala Asia merupakan sebuah kebanggaan besar untuk seorang pemain muda – termuda malah bila dibandingkan seluruh penggawa timnas – sepertiku. Meski itu hanya berstatus sebagai pemain cadangan.

Aku pun lantas mencoba menenangkan diri. Euforia ini tak boleh membuatku sulit tidur. Tidur yang cukup merupakan langkah awal untuk tampil baik pada sebuah pertandingan. Aku pun bersiap-siap menuju peraduan.

Sebelum tidur, tak lupa aku mempersiapkan segala perlengkapan untuk esok hari. Kubuka lemari pakaian. Terdapat satu buah kotak yang dibungkus dengan kertas kado. Kurobek kertas kado itu dan kutemukan sebuah surat.

Kubuka lalu kubaca, ”Sayang, selamat bertanding. Maaf Dinda enggak bisa ikut nemenin Kanda. Dinda cuma bisa bantu doa. Oiya, ini ada kado dari Dinda untuk kamu. Nanti pake yah pas tanding dan bikin gol. Good luck, Sayang. Love, Dinda.”


Kotak itu pun lalu kubuka. Kutemukan adidas F50i Spark berwarna biru cerah. Sepatu yang memang telah lama aku impi-impikan. Aku tersenyum lalu beranjak ke tempat tidur dan menempatkan sepatu itu di sebelah bantal.

Sebelum memejamkan mata, aku memanjatkan doa, ”Ya Allah, semoga aku bisa tampil baik dengan sepatu pemberian kekasihku ini, seperti yang dilakukan pemain idolaku, Lionel Messi, di final Liga Champions 2008-09. Amin.” Lalu aku pun tertidur.

Momen yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba. Pertandingan final Copa Indonesia pun dimulai. Duduk di bangku cadangan bukan berarti tak bisa berkontribusi. Aku bersama beberapa pemain lain di bangku cadangan tak henti berteriak menyemangati dari pinggir lapangan.

Sempat unggul lebih dulu pada babak pertama, Tim Merah-Pitih yang aku bela malah jadi tertinggal 1-2 dari Korea Selatan yang memang dikenal sebagai tim diesel. Pelbagai usaha telah dilakukan rekan-rekanku di lapangan, namun tetap gagal menyamakan kedudukan karena lawan yang bermain all-out defense. Memasukkan dua striker untuk mempertajam lini depan tak juga menunjukkan hasil. Padahal, waktu normal tinggal 5 menit lagi.

Tiba-tiba terdengar teriakan lantang pelatih. ”Kamu, masuk! Serahkan ini ke meja ofisial pertandingan,” ujar pelatihku. Aku pun berlari sambil merapikan baju. Penasaran aku ingin melihat nama pemain yang akan aku gantikan. Aku kaget. Bagaimana mungkin midfielder muda sepertiku menggantikan pemain paling karismatis negeri ini, Ponaryo Astaman.

Belum hilang kekagetanku, kertas itu pun kuserahkan kepada wasit keempat. Dia lantas mengatur angka pada papan digital. Terlihat angka 17 berwarna hijau di bawah tulisan ”In” dan angka 11 berwarna merah di bawah tulisan ”Out”.

Pengeras suara di stadion pun berbunyi. ”Substitution for Indonesia. Player number eleven, Ponaryo Astaman, replaces by player number seventeen, Gentza Manah.” Standing ovation lantas dilakukan penonton. Sempat ge-er, namun lantas aku tersadar jika hal itu dilakukan bukan untukku melainkan kepada Ponaryo. ”Kalahkan mereka,” bisik Ponaryo kepadaku.

Setelah mengucapkan doa, aku pun mantap memasuki lapangan pertandingan yang disaksikan puluhan ribu penonton yang memadati Gelora Bung Karno. Sayup-sayup terdengar teriakan penonton, ”Ayo, Kamu bisa, Anak Muda!”.

Situasi saat aku masuk adalah tendangan pojok bagi Korsel. Aku lantas menempatkan diri di sisi luar kotak penalti guna mengantisipasi pergerakan lawan jika ada bola muntah. Tendangan pojok sudah dilepaskan. Beruntung kiper Markus Harison bisa meninju bola keluar. Bola pun melayang dan jatuh tepat di dekat kakiku.

Satu-satunya yang ada di pikiranku saat itu adalah berlari membawa bola sekencang mungkin ke daerah lawan. Sejurus kemudian aku pun berlari menggiring bola. Teknologi transparent heel counter pada adidas F50i Spark baruku ini membuatku langkahku menjadi ringan. Dua orang pemain Korsel yang coba menghadangku berhasil kulewati.

Tanpa terasa, aku sudah berada sekitar 30 meter dari gawang lawan. Ada dua hal yang berada di pikiranku saat itu. Mencoba menusuk langsung ke kotak penalti lawan atau memberikan umpan ke samping mengingat aku di double team oleh dua pemain Korsel.

Tiba-tiba aku melihat ada sosok Bambang Pamungkas yang menunjukkan tangan di jantung pertahanan Korea. Tanpa pikir panjang, aku lantas melepaskan umpan silang dan langsung disambut sundulan kepala Bambang. Blasss... Bola pun merobek jala gawang Korsel. ”Gooolllll...” Teriak ribuan orang di Gelora Bung Karno.

Aku pun berlari menuju ke arah Bambang untuk merayakan euforia itu. Pemain lain pun melakukan hal serupa.”Nice pass,”ujar Bambang kepadaku.

Skor pun menjadi imbang 2-2. Hasil yang bertahan hingga waktu normal habis. Perpanjangan waktu pun dilakukan. Namun, setelah 2 X 15 menit, tak ada tambahan gol yang tercipta. Penentuan pemenang pun terpaksa dilakukan melalui adu penalti.

Pelatih lantas memanggil semua pemain. Nama-nama penendang sudah dia tulis di secarik kertas. ”Gentza, kamu penendang kelima!” seru dia. ”Siap!” balasku meski dalam hati deg-degan karena penendang kelima adalah penendang penentu. Beban yang ditanggung jelas yang paling berat. Kucoba menenangkan diri dengan berdoa guna mendapatkan kemantapan hati.

Sempat dibuat tegang karena penendang pertama Indonesia gagal, akhirnya kami bisa lega setelah tembakan penendang ketiga Korsel melambung di atas mistar gawang Markus. Kedudukan 3-3 pada adu penalti.

Penendang kelima Korsel pun maju menghadapi penalti. Tembakan sudah dilepaskan, namun dengan sigap Markus menepisnya. Aksi yang lantas menimbulkan suara tepuk tangan nan keras dari para penonton.

Giliranku pun tiba. ”Kamu pasti bisa,” bilang beberapa pemain kepadaku. Aku mantap melangkah menuju titik putih. Usaha kiper Korsel yang coba melakukan psy war dengan mengotak-atik bola di titik putih tak aku gubris. Hanya saja ucapan dia yang mengatakan aku akan bernasib seperti John Terry – yang terpeleset saat adu penalti pada final Liga Champions 2007-08, sempat menggoyahkan hatiku.

Aku pun berbalik badan untuk mengambil jarak menendang. Sambil berjalan, aku berdoa, ”Semoga aku bisa memenuhi janjiku kepada pacarku.” Aku pun mendapatkan lagi keyakinanku. Terlebih aku mengetahui stud key hitam yang aku pasang di F50i-ku ini mempunyai cengekeraman yang kuat terhadap tanah.

Sorot mata tajam aku arahkan ke gawang. Ancang-ancang telah dilakukan. Seperti idolaku yang lain, Marco van Basten, aku melompat kecil lalu berlari. Tembakan kaki kanan aku lepaskan. Lantaran teknologi sprintskin, aku bisa merasakan sentuhan bola di kakiku. Hal yang memudahkan aku mengarahkan tendangan ke pojok kanan atas gawang Korsel dan tak mampu dibendung kiper lawan.


”Yeah...!” Aku pun lantas berlari ke arah penonton. Aku lantas melakukan selebrasi bak Messi di final Liga Champions 2008-09. Melepas sepatu F50i-ku lalu menciumnya. Aku lantas menaiki pagar pembatas penonton. Namun lantaran hanya berpijak kepada kaos kaki kananku yang basah, aku pun tergelincir dan jatuh dari pagar pembatas.

Gubrak!!! Aku pun tersadar dan melihat langit-langit kamar kostku. Kulirik ke kanan dan kumelihat ada poster Messi sedang mencium sepatu kanannya usai membobol gawang Edwin van der Sar di Stadion Olimpico. Ahh... ternyata ini semua hanyalah mimpi.

Kulihat jam di dinding. Waks… sudah pukul 3 sore. “Bisa terlambat latihan sepak bola di kampus nih...”. Begitu pikirku. Aku pun lantas menyambar handuk yang menggantung dan menuju pintu untuk keluar ke kamar mandi.

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh kehadiranku pacarku yang sudah ada di depan pintu. ”Selamat ulang tahun sayang,” ucap dia sambil melayangkan kecupan ke pipiku. ”Ini ada kado untuk kamu. Buka deh. Kamu pasti suka. Apalagi kan kamu mau latihan sekarang,” ujar dia lagi.

Kotak berbungkus kertas kado merah itu pun kubuka. Aku pun kaget setengah mati. Sepasang sepatu adidas F50i Spark berwarna biru. Persis seperti yang dipakai Lionel Messi dan juga mimpiku...


(FOTO-FOTO: DOK. TABLOID SOCCER)

Monday, February 16, 2009

Borok Itu Masih Ada

KETIKA Calciopoli terungkap, pencinta sepak bola Italia langsung terbagi menjadi dua kubu. Kubu yang pesimistis beranggapan sepak bola Italia telah habis karena indeks kepercayaan publik dipastikan menurun. Sementara kubu yang optimistis yakin, calcio dapat bangkit untuk kembali menahbiskan diri menjadi liga terbaik dunia.

Hukuman terhadap beberapa klub yang terlibat Calciopoli, dianggap menjadi langkah awal untuk mengembalikan citra sepak bola Italia yang menukik. Instrumen hukum Italia pun sudah menunjukkan itikad baiknya dengan menjatuhkan sanksi tanpa pandang bulu. Buktinya, Juventus sebagai kolektror perisai juara tersering dan AC Milan yang dimiliki tokoh pemerintahan Italia mendapatkan sanksi yang sangat tegas.

Keberhasilan Inter Milan menjuarai Serie-A setelah dua rival utamanya dikenai hukuman seolah membuktikan bahwa tak ada lagi main mata di sepak bola Italia. Semua klub mendapatkan perlakuan yang sama dari wasit. Hingga akhirnya musim 2008-09 bergulir.

Inter seolah mendapatkan "durian runtuh" status "untouchable" yang sebelumnya melekat pada Juventus. Buktinya, beberapa pelatih dan petinggi klub medioker sempat menghujat kepemimpinan wasit kala timnya bertanding melawan Inter. Mereka beranggapan korps baju hitam masih belum bisa bersifat objektif. Masih cenderung berpihak pada klub besar, terutama Inter.

Terakhir, ketidakadilan itu dirasakan Milan, klub yang sebelumnya terkena sanksi Calciopoli. I Rossoneri merasa wasit Roberto Rosetti berbuat curang kala I Nerazzuri menang 2-1 atas rival sekotanya itu, Minggu (15/2). Ironis, mengingat Rosetti baru saja mendapatkan penghargaan sebagai wasit terbaik Italia.

Carlo Ancelotti sampai merutuk keras lantaran kesal terhadap kepemimpinan Rosetti. Pelatih Milan merasa timnya pantas mendapatkan dua penalti. Selain itu, gol pembuka yang dicetak Adriano juga dianggap pelanggaran lantaran bola terlebih dulu mengenai tangannya. Pippo Inzaghi pun sempat berteriak marah lantaran gol indahnya menyambut umpan Alexandre Pato tak disahkan lantaran hakim garis menganggapnya offside.

Tanpa bermaksud menutup mata dengan perbandingan kekuatan klub-klub Italia, rasa bersalah lantaran "berbuat salah" di masa lalu terhadap Inter bisa saja menjadi penyebab ketidakenakan yang dialami para lawan Inter dalam dua musim terakhir ini. Meski, tak bisa dipungkiri, secara kualitas dan mentalitas permainan dibandingkan rival-rivalnya, I Nerazzurri memang menjadi tim Italia yang paling pantas merebut perisai juara dalam 3 tahun terakhir ini.

Terlepas dari polemik yang selalu muncul setiap usai sebuah laga besar, kepemimpinan wasit di Italia pasca-Calciopoli memang tetap menghadirkan tanya. Meski secara nyata menunjukkan perbaikan, tetap saja kesan subjektivitas mengemuka. Sebuah tantangan yang harus bisa segera dientaskan oleh lembaga-lembaga terkait jika ingin Lega Calcio kembali dipandang sebagai liga bergengsi lagi. (jalu/Foto: Dok. Soccer)

Dibuai Mimpi ke Pentas Dunia

BERITA mengejutkan keluar di media-media massa akhir Januari lalu. Bukan hanya media lokal. Pun mancanegara.

Berita mengejutkan itu adalah kabar Indonesia akan mengajukan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 atau 2022. Kebijakan FIFA untuk membuka lebih dini kran pendaftaran Piala Dunia demi persiapan yagn lebih matang memang telah menarik minat banyak negara, salah satunya Indonesia.

"Hal ini sepertinya hanyalah mimpi bagi kami. Tapi, kami harus berani bermimpi muluk. Jika tidak, kami takkan bisa merealisasikan apa-apa," bilang Sekjen PSSI, Nugraha Besoes.

Tak salah dengan pernyataan Kang Nunu itu. Seperti bait lagu Nidji untuk OST Laskar Pelangi, "Mimpi adalah kunci, untuk kita, menaklukkan dunia..." Toh, bukankah segala penemuan dan teknologi mutakhir yang berkembang di dunia ini pada awalnya adalah sebuah mimpi? Sebut saja Wright Bersaudara yang menemukan pesawat terbang.

Namun, seperti juga Wright Bersaudara, butuh kerja keras dan usaha yang tak kenal untuk bisa mengubah angan-angan di dalam otak kita, yang kemudian diterjemahkan ke dalam kerta dan berubah menjadi blueprint, dan terakhir dieksekusi menjadi sebuah tindakan.

Jangka waktu 10 tahun memang masih lama. Masih cukup untuk memperbaiki dan membangun prasarana-prasarana penunjang penyelenggaraan kompetisi sepak bola terakbar di dunia itu.

Namun, satu dekade pun akan berjalan sangat singkat. Itu jika PSSI tak melakukan apa-apa untuk memperbaiki kualitas sepak bola Indonesia. Okelah, secara stadion, Gelora Bung Karno pantas dibanggakan sebagai salah satu stadion terbesar di dunia. Tapi, bagaimana dengan kualitas sepak bola Indonesia sendiri?

Inilah yang harus bisa segera dibenahi oleh PSSI. Dengan status tuan rumah, Indonesia memang bisa mewujudkan mimpinya tampil di pentas dunia - yang sebelumnya digadang-gadang akan tercipta pada 2002. Hanya saja, indikator keberhasilan tuan rumah dalam penyelenggaraan turnamen tak hanya dilihat dari sisi fisik penyelenggaraan semata. Tapi juga penampilan tim nasionalnya.

Tengok saja tiga negara minor yang sempat menjadi tuan rumah Piala Dunia, Jepang-Korea Selatan pada 2002 dan Amerika Serikat pada 1994. Tiga tim itu setidaknya bisa memuaskan fans sepak bolanya dan tak mencoreng arang di kening karena gagal di babak pertama. Bahkan, Korsel bisa menciptakan sejarah dengan menjadi tim Asia pertama yang menembus semifinal Piala Dunia.

Soal prestasi timnas inilah yang harus dicermati oleh PSSI jika Indonesia ingin mewujudkan mimpi tampil di pentas dunia. Sebab, secara antusiasme penonton, bangsa ini berani diadu dengan Inggris, Jepang, Qatar, Rusia, dan Spanyol-Portugal.

Penentuan tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 akan ditentukan pada Desember 2010 mendatang. Bangsa ini masih punya waktu bersolek diri untuk membuktikan bahwa Indonesia pantas diberi kepercayaan untuk menjadi tuan rumah sebuah pagelaran akbar.
Untuk itu, PSSI harus bisa segera menyembuhkan borok yang terjadi sepak bola Indonesia. Sementara fans sepak bola Indonesia harus sudah bisa bersikap dewasa dalam menyikapi hasil yang terjadi di lapangan.

Prinsipnya adalah Just Do It. Doa dan Ikhtiar. Sama seperti Wright Bersaudara, hanya dengan usaha sungguh-sungguhlah, mimpi bangsa ini untuk menyaksikan Tim Merah Putih bertanding di puncak tertinggi sepak bola dunia bisa terwujud. Ayo, buktikan Indonesia! (jalu)