Sunday, December 9, 2007

Dua sisi mata uang

Allah SWT memang mengetahui mana yang terbaik buat hamba-Nya.
Ketika memberikan berkah, di sisi lain Dia pun akan menguji sang hamba dengan cobaan yang diberikan.

Itulah yang dialami kala saya bersyukur menyambut kehadiran putra pertama kami. Pada saat menunggu istri menunggu detik-detik lahiran. Atau tepatnya ketika masih pada tahap Bukaan 4, istri saya melihat ada bintil di bawah leher. Saya awalnya - juga diyakini oleh perawat yang menemani istri saya - itu adalah jerawat.
Namun, kondisi fisik saya yang sudah hareeng alias demam dari semalam jelas mempunyai indikasi lain. Saya mendapatkan cacar air. Bingo...
Tapi, cacar air adalah penyakit yang akan menular ketika pasien sudah memasuki taraf penyembuhan. Berbekal Basmalah, saya meneruskan untuk menemani istri saya lahiran - meski tak berada satu ruangan dengannya.

Begitu tangis sang jagoan kecil terdengar, tak kuasa saya menahan derai air mata. Padahal, saya sebelumnya berprinsip, "Laki-laki sejati dilahirkan di dunia bukan untuk meneteskan air mata, melainkan darah!" But, dalam hal ini, perasaan saya sebagai seorang laki-laki sejati tak bisa dibohongi. Air mata itu bukanlah antitesis dari sifat maskulin laki-laki. Sebatas ucapan syukur yang tak terucapkan kepada Sang Pencipta.

Kembali ke pokok persoalan, lantaran cacar dan takut menulari sang junior, maka saya mendelegasikan tugas melantunkan adzan dan iqamah kepada kakek dari sang bayi. Saya sendiri tak kuasa untuk beranjak karena kondisi badan semakin panas. Saya pun terpaku di kursi di salah satu sudut ruang tunggu.

Benar saja, usai dari rumah sakit dan kemudian ke dokter, saya divonis menderita cacar air. Saya diharuskan beristirahat 10 hari lamanya. Sebetulnya, waktu penyembuhan hanya memakan waktu seminggu. Namun karena penyakit ini tergolong Virula saat memasuki masa penyembuhan, maka saya diberi waktu istirahat lebih untuk tidak menulari rekan-rekan baik teman sekantor maupun sepermainan.


Istirahat. Mungkin memang itulah yang saya butuhkan. Namun, ada hal lain yang membuat saya sedih dengan keadaan itu. Saya terpaksa diisolasi dan tidak tinggal bareng istri dan anak. Saya dikembalikan kepada orangtua sementara mereka tinggal bareng mertua. Hingga tulisan ini dipublikasikan, belum sekali pun saya menggendong bahkan menyentuh Gentza. Tapi, saya percaya, Allah Maha Mengetahui. Dia tahu yang terbaik buat hamba-Nya.

Sabar ya Gentza...

Gentza Manah Wirabuana


Alhamdulillah...
Akhirnya putra pertama kami lahir sesuai dengan waktu perkiraan dr. Udin Sabarudin, SpOG.
Pada Selasa, 27 November 2007 atau bertepatan dengan 17 Dzulqaidah 1428 H pukul 14.40 WIB, istri saya melahirkan putra pertama kami di RSIA Tedja, Bandung.
Setelah menahan mules - sejak pertama kali merasakan pada pukul 03.30 WIB - istri saya berhasil melahirkan secara normal bayi laki-laki dengan panjang 50 cm dan berat 3,5 kg.

Bayi itu kemudian kami beri nama Gentza Manah Wirabuana. Sesuai perjanjian dengan para saudara sepupu satu klan, kami memang sepakat untuk memberi nama anak dengan menggunakan kata yang berawalan huruf G. Kata Gentza sendiri saya ambil dari bahasa Basque - salah satu suku bangsa di Spanyol selain Andalusia dan Katalan - yang mempunyai arti kedamaian.

Kata kedua kami ambil dari bahasa Sunda. Dan memang sudah keinginan saya pribadi untuk menggunakan bahasa ibu pada salah satu unsur nama dari anak kami. Manah sendiri berarti hati.

Sementara, unsur nama ketiga berasal dari bahasa sansekerta. Asalnya saya akan menggunakan nama Jagadditha yang berarti mensejahterakan dunia. Namun, istri saya mengatakan agar nama ketiga mempunyai padanan dengan nama ayahnya. Maka dipilihlah penggalan Wira yang diambil dari nama ketiga saya Wirajati. Dan, buana merupakan padanan dari kata dunia. Sedangkan Wira berarti perwira atau laki-laki yang mempunyai sifat ksatria dan berguna.

Jadi, secara keseluruhan, arti nama putra pertama saya itu bisa diartikan Laki-laki yang memberikan kedamaian di hati dan berguna bagi dunia. Itulah doa kami bagi putra pertama kami. Amin...

Friday, November 23, 2007

At last...

Setelah lama disibukkan oleh banyak hal menyangkut urusan duniawi, akhirnya saya bisa kembali menulis di blog tercinta ini. Pekerjaan kantor seperti yang tidak akan habis-habis dan rasa malas memang sempat membuat saya malas, bahkan untuk sekadar membuka blog ini. Tengok saja, postingan terakhir yang saya masukkan adalah saat usai berbulan madu dari Bali. Kini, saya sedang deg-degan menunggu kelahiran buah hati kami yang diprediksi oleh dokter akan lahir pada Selasa, 27 November ini.

Banyak yang bilang, menunggu mempunyai arti tak jauh beda dengan menanti. Sebab, dalam kamus besar bahasa Indonesia pun dijelaskan seperti itu. Tunggu = 1. Nanti vice versa Nanti = 1. Tunggu

Tapi, benarkah bisa diumpamakan seperti itu?

Contoh saja situasi yang saya alami hari ini. Mana yang benar, apakah saya sedang deg-degan menanti kelahiran sang buah hati, atau saya sedang deg-degan menunggu kelahiran sang buah hati?

Tampaknya saya cenderung memakai kalimat yang kedua. Sebab, penekanan dalam kata menunggu adalah (tanpa bermaksud mendahulukan kehendak Sang Kuasa) sesuatu yang pasti. Beda halnya dengan penantian, sebuah pekerjaan hal yang belum jelas juntrungannya.

Kini yang menjadi persoalan, jika nanti dan tunggu mempunyai arti yang sama, apakah kata Penantian bisa diganti dengan Penungguan?

Hmmm… yang jelas, saat ini saya tengah menikmati rasa deg-degan yang berkecamuk di hati saya… Salam...

Tuesday, February 27, 2007

Bali.. Oh Bali...


Setelah sekian lama, pertengahan Februari lalu saya berkesempatan kembali mengunjungi Bali, Pulau Dewata yang dalam beberapa dekade terakhir menjadi tempat tujuan wisata para pelancong dari mancanegara. Namun, ada yang berbeda dari saat pertama saya mengunjungi Bali sewaktu kelas 1 SD dengan yang terakhir kali ini. Bukan dari pembangunan infrastruktur yang semakin maju. Melainkan dari jumlah wisatawan yang semakin jauh berkurang.
Bom yang meletus dua kali di pulau itu tampaknya yang menjadi penyebab kemunduran itu. Saat pertama, saya menyalahkan pelaku pemboman itu. Terkadang juga terpikirkan bahwa yang menskenario ledakan itu adalah pihak barat yang sengaja ingin menghancurkan citra negeri ini. Namun, dari kunjungan terakhir ke Bali itu, skenario baru pencetus ledakan itu terpikirkan.

Siapa? Pemerintah Malaysia.

Begini dasar pemikiran saya. Imam Samudra atau Amrozi memang adalah (diduga) pelaku pemboman itu. Namun, siapa dalang di balik itu? Dr. Azahari dan Nurdin M. Top, keduanya adalah warga negara Malaysia.

Lantas, apa hubungannya dengan pemerintah Malaysia? Pariwisata.

Bisa saja, pemerintah Malaysia iri dengan jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Bali. Karena itulah, demi menggalakkan pariwisata di daerahnya, Malaysia meminta dua orang itu untuk merencanakan pengeboman terhadap Bali. Dengan harapan, ada ketakutan dari negara-negara Barat untuk mengizinkan warganya berkunjung ke Bali. Sehingga, Malaysia yang secara teritorial merupakan tetangga Indonesia, "kecipratan" luberan wisatawan dari barat.

Ini baru anggapan saja. Bukan sebuah fakta atau aksioma. Namun, anggapan saya ini berdasar pada jumlah wisatawan barat yang datang ke Malaysia semakin bertambah - sejak kasus Bom Bali - seiring dengan penurunan jumlah wisman yang datang ke Bali.
Wallahualam....

Wednesday, January 17, 2007

Indonesia Raya...


Kemarin saya mengikuti pelatihan yang diadakan di kantor. Temanya adalah tentang Motivasi dan teknik Coaching orang. Bukan hasil akhir yang membuatku terkesan. Tapi cara instruktur itu memulai pelatihan. Dia memulainya dengan mengajak semua peserta berdiri kemudian menghadap Sang Merah Putih (Bukan Sang Saka Merah Putih, Pasal 35 UUD 1945) sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya.

What an amazing...
Bukan lantaran saya sudah lebih dari 8 tahun tak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia itu. Tapi, saya merasakan energi positif ketika menyanyikan lagu yang dibuat pada 1928 itu secara bersama-sama, khidmat, dan penuh perasaan. Meski saya belum memberikan jasa besar bagi negeri ini, tapi saat itu saya merasakan hal yang sama dengan apa yang dialami Taufik Hidayat ketika merebut medali emas pada Olimpiade Athena 2004 lalu.
Apakah upacara seperti itu jika dilakukan di rumah akan menghadirkan kegairahan yang sama? Keesokan paginya, saya mencoba mengulangi ritus itu sendiri. Yang menjadi pembeda adalah saya melakukannya dengan diiringi lagu Indonesia Raya yang disiarkan salah satu televisi nasional ketika membuka hari. Hmmm... energi yang sama kurasakan juga. Hal yang membuatku membuka hari dengan semangat.

Saya pun berpikir, apa jadinya apabila seluruh rakyat Indonesia melakukan ritus itu setiap paginya? Mungkin efeknya akan sama dengan yang biasa orang Jepang dilakukan di pagi hari, ketika membungkuk ke arah matahari setiap pukul 7 pagi. Ingat, dengan kebiasaan itu, Jepang kini menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.

Saya berandai-andai saja. Andaikan kebiasaan menyanyikan Indonesia Raya, bisakah negara ini maju seperti bangsa Jepang? Bisa jadi. Sebab, jika dilihat dari masalah sumber daya, Indonesia jelas lebih kaya dibandingkan Negeri Bunga Seruni itu, baik sumber daya alam pun manusia. Masalah kepintaran pun bisa diadu. Beberapa siswa dari negeri ini sanggup meraih medali emas pada olimpiade ilmu pengetahuan yang notabene diikuti negara-negara besar di seluruh dunia. Soal fisik pun kita jelas lebih hebat dibandingkan negara yang pernah menjajah kita selama 3,5 tahun itu.

Lantas, apa yang membedakan kita dengan Jepang? Mental.... Akibat penjajahan yang lama menimpa negeri ini, mental bangsa kita tetaplah seperti kurcaci. Sikap positif yang ada terkungkung oleh paradigma negatif yang telah ditanamkan ke otak kita sejak bayi. Ketakutan dan kekhawatiran masih menjadi salah satu faktor penimbang kita dalam menetapkan keputusan. Tanpa sadar, terbentuk LOW TRUST SOCIETY di negeri ini.

Apa hubungannya dengan Indonesia Raya? Mungkin tidak akan langsung mengubah dogma dan paradigma yang telah mengakar di masyarakat kita. Tapi, lagu itu setidaknya bisa membangkitkan ghirah alias semangat juang kita dalam menyikapi hidup. Setidaknya sejak kita menyanyikan lagu itu hingga terlelap kembali. Mungkin jika itu dilakukan berkali-kali dan bersifat umum, lambat laun kita bisa menjadi bangsa yang setidaknya lebih maju dari saat ini.

Setidaknya, itulah yang dirasakan saya ketika menyanyikan lagu karangan Wage Rudolf Supratman itu. Sekali-kali, cobalah Anda mencobanya? Tapi, beri tahu dulu orang rumah, rekan satu kost, atau pasangan Anda. Alih-alih ingin membangkitkan energi positif, namun justru dianggap "negatif" :p

Saya tak pantas dipuji...

Setelah nyaris tiga minggu, inilah kali pertama saya kembali mengisi blog. Whoaaam.... nulis apa ya....Hmmm... kali ini saya akan coba membahas soal pujian....Setelah saya mempublish blog, ternyata saya paham dengan makna Alhamdulillahirabbil'alamin (Segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam) ketika kita mendapatkan pujian. Pujian memang seharusnya hanya milik Allah. Kita bisa berbuat baik lantaran berkat rahmatnya. Tapi, bukan itu pengalaman saya dalam mencari makna dari ayat kedua Surat Al-Fatihah itu. Begini ceritanya...

Setelah mempublish blog, beberapa rekan memuji (meski tak sedikit juga yang mengkritik) tulisan saya. Baik melalui tool comment atau melalui Yahoo Messenger pun sms. Alih-alih saya senang, saya justru merasa terbebani dengan pujian yang didapat. Pujian itu membuat saya berpikir, "Benarkah tulisan saya layak untuk dipuji?" Jika memang demikian, hal itu benar-benar akan membuat saya semakin terbebani. Itu berarti, saya sudah punya benchmark di hadapan sidang pembaca yang memuji blog saya. Secara tidak sadar, ketika saya menulis, benchmark itulah standar minimal mutu tulisan saya.

Keadaan itu jelas membuat saya harus memeras otak lebih dalam untuk membuat tulisan di blog. Bukan lantaran saya gila pujian, tapi frame seperti itu seakan tertanam dengan sendirinya di alam bawah sadar. Unconciusly, saya menjadi terbebani ketika hendak menulis tulisan di blog. (Tapi tetap bukanlah apologi karena saya tak menulis lebih dari dua minggu di blog ini :p)

Itulah penggalan cerita saya mencari makna sesungguhnya dari kata Alhamdulillahirabbil'alamin. Sebagai seorang makhluk yang sarat kekurangan, pujian hanyalah akan membenani dan semakin melemahkan kita. Karena itulah, untuk meringankannya, kita kembalikan pujian itu kepada Sang Pemilik Hati. (Ini sekadar pengertian dari persepsi saya. Setiap orang tentu punya pengalaman pribadi masing-masing dalam mengurai wahyu - baik tersirat maupun tersurat - dari Sang Pencipta).

Tuesday, January 2, 2007

Saddam Hussein


Innalillahi wa innailaihi ra'jiuun

Terlepas dari kejahatannya selama memimpin Irak lebih dari dua dekade lamanya, ada beberapa hal yang membuat Saddam tetap layak mendapat penghargaan.

Pertama, dia merupakan pimpinan dunia yang sangat ditakuti Amerika Serikat. Ketika dia memimpin Irak, siapa pun Presiden AS yang memimpin, selalu menaruh perhatian lebih terhadap Saddam. Dialah yang bisa menciptakan "keseimbangan" terhadap (sok unjuk) kekuatan Paman Sam setelah Uni Soviet runtuh.

Kedua, karisma. Karisma Saddam sangatlah luar biasa. Itu bisa ditunjukkan saat dia berbicara dengan tamu negara di istananya. Saddam adalah orang yang tak suka bicara dengan orang yang bertopang kaki. "Saddam sangat tidak suka tamu yang seperti itu," jelas Ali Alatas, mantan Menlu RI usai melakukan kunjungan negara ke Irak. Karena karisma Saddam-lah, kaki saat pertama datang, Ali Alatas sangatlah nervous.
Ketidaksukaan Saddam itu ada benarnya. Dengan karismanya, tamu yang datang bisa gugup. Bayangkan jika tamu itu bertopang kaki? Tentu akan terlihat kakinya bergoyang-goyang di hadapan Saddam. Melihat kursi yang sangat dekat. tentu goyangan kaki itu akan mengenai kaki Saddam. Tampaknya inilah alasan utama Saddam, tak suka tamu yang bertopang kaki :p

Karisma Saddam ternyata tak hanya dirasakan tamu yang langsung berhadapan dengannya. Hal itu setidaknya dibuktikan masyarakat Indonesia. Saat (alm) Tabloid Mingguan MONITOR mengadakan polling tokoh idola, Saddam berada dalam 10 besar. (Tapi anehnya, kok bisa ya Soeharto berada di peringkat teratas dan Muhammad SAW di posisi ke-10)

Turut berduka cita atas meninggalnya Saddam Hussein, mantan pimpinan militer dan pemerintahan tertinggi Irak.