Wednesday, January 28, 2009

Benitez Terserang Post Power Syndrome

RASA frustrasi mulai menghinggapi Liverpool. Khususnya manajer Rafael Benitez. Manajer asal Spanyol itu seolah dihinggapi post power syndrome. Sindrom yang biasa menyerang orang yang baru saja lengser dari jabatannya.

Benitez memang tidak kehilangan jabatannya sebagai manajer The Reds. Tapi, posisi Liverpool yang tercelat dari puncak klasemen - yang sebelumnya terjaga sekitar dua bulan, menjadi penyebab Benitez mengalami gejala itu.

Gejala itu diawali saat The Reds hendak menjamu Stoke City pada pekan ke-21. Sadar posisinya klubnya di puncak klasemen terancam oleh Manchester United yang terus menanjak, Benitez melancarkan kritikan yang niat awalnya adalah untuk menggoyahkan konsentrasi pesaingnya itu.

Kritikan pertama diloncarkan kepada Sir Alex Ferguson. Benitez menganggap manajer MU itu mendapatkan "diskriminasi" dari FA lantaran tak pernah dikenai sanksi meski melontarkan kritikan pedas kepada wasit. Dilanjutkan kritikan kepada David Gill, Chief Executive MU, yang dianggap Benitez mempunyai pengaruh di FA lantaran mempunyai posisi penting.

Setelah posisi puncak klasemen terenggut, Benitez kian kencang berkoar. Alih-alih membenahi kesalahan yang terjadi di timnya, Benitez malah mengkritik setiap lawan yang dihadapi.

Terakhir, Everton yang menjadi objek kritikan Benitez. Usai bermain imbang 1-1 di babak keempat Piala FA, dia menganggap The Toffees hanya memeragakan sepak bola negatif demi mendapatkan poin dari timnya.

Andai Jose Mourinho masih berada di Premier League, bukan tak mungkin Benitez yang bakal dikritik. Eks manajer Chelsea itu tentu menganggap Benitez sebagai voyeur, sama seperti halnya manajer Arsenal, Arsene Wenger.

Nasib yang terjadi terhadap Wenger dan Arsenal-nya tentu harus diwaspadai Benitez. Apabila terlalu sering membuka aib orang lain dibandingkan memperbaiki kesalahan sendiri, bukan tak mungkin Liverpool akan bernasib sama seperti The Gunners. Gagal menjadi juara!

Jika itu terjadi, alamat para Liverpudlian akan semakin lama menunggu waktu berbuka puasa gelar juara liga. So, fokuslah mengurus tim sendiri Benitez!

Tuesday, January 20, 2009

Harga Sebuah Kesetiaan

"When we are debating an issue, loyalty means giving me your honest opinion, whether you think I will ll like it or not. Disagreement, at this stage, stimulates me. But once a decision has been made, the debate ends. From that point on, loyalty means executing the decision as if it were your own." (Colin Powell, Mantan Kepala Angkatan Bersenjata dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat)

KESETIAAN itu sangatlah mahal. Bahkan, bisa dibilang tak ternilai. Benarkah demikian? Tidak di juga.

Di zaman yang sudah konsumtif seperti sekarang ini, loyalitas (masih) bisa dibeli dengan uang. Setidaknya, itulah yang ada di pikiran Sheikh Mansour, pemilik Manchester City.

Pada Selasa (13/1), pemilik baru Manchester City itu secara resmi mengajukan penawaran terhadap Kaka, ikon AC Milan. Dana lebih dari 1,6 triliun rupiah siap digelontorkan agar Kaka siap melepaskan kesetiaan kepada Milan dan berpaling ke Manchester City.

Siapa yang tak tergoda dengan uang sebanyak itu. Silvio Berlusconi pun sempat goyah. Ikrar dia untuk tak menjual Kaka sedikit berguncang. Pemilik Milan itu pun mengakui kekuatan uang bisa mengubah sesuatu hal yang tak mungkin menjadi kenyataan.

Hal itu sudah banyak terjadi di dunia nyata. Dulu, hanya astronot dan kosmonot saja yang bisa berangkat ke luar angkasa. Kini, asal punya uang belasan miliar rupiah, orang awam pun bisa.

Demikian pula di dunia sepak bola. Siapa yang sangka Roberto Baggio bisa pindah dari Fiorentina ke Juventus pada 1990 mengingat dua klub itu merupakan rival luar-dalam. Setelah itu, makin banyak ikon klub yang hijrah ke klub lain bahkan rival atas nama gelontoran uang.

Memelihara kesetiaan juga tak ubahnya menjaga kejujuran. Sebab, hati paling dalamlah yang bisa menentukan apakah pantas kesetiaan itu ditukar dengan uang yang berlimpah.

Cobaan itulah yang kini dihadapi Kaka, pria yang dikenal sangat setia menjalankan prinsip hidupnya, termasuk soal batasan berpacaran. Di satu sisi, suami dari Caroline itu bisa secara instan menjadi pemain termahal sekaligus bergaji tertinggi di dunia jika mau pindah dari Milanello. Sebab, City menjamin Kaka akan dibayar 500 ribu pounds per pekannya.

Di sisi lain, kesetiaan dia amat dibutuhkan oleh Milan untuk kembali menjadi klub yang disegani, tak hanya di Italia tapi juga Eropa dan dunia. Dia pun masih memiliki mimpi untuk menjadi kapten Milan pada suatu saat nanti. Mimpi yang hanya bisa dicapai apabila kesetiaan dia tak dijual.

Apa yang akan dipilih oleh Kaka? (jalu)

Mimpi Timnas Berprestasi Tinggi

TIMNAS INDONESIA adalah sebuah penantian. Ya, penantian akan sebuah prestasi manis yang sudah lama tak dipersembahkan para pebola dari lapangan hijau.

Tepiskan gelar Piala Kemerdekaan yang diraih secara "cuma-cuma" dari Bangladesh pada Agustus lalu. Terakhir kalinya Tim Merah Putih memberikan kebanggaan kepada bangsa ini adalah pada 1991. Ketika Edy Harto dkk mempersembahkan medali emas SEA Games.

Setelah itu, tak ada lagi prestasi yang diberikan para pebola kita. Jangankan untuk berbicara di level dunia ataupun Asia, di level regional saja nama besar Indonesia tenggelam di bawah bayang-bayang Thailand dan Singapura.

Sudah 17 tahun berlalu dari terakhir kali lagu Indonesia Raya berkumandang saat penahbisan juara. Layaknya pemuda yang merayakan ultah sweet seventeen, begitu jualah perasaan dan harapan rakyat Indonesia kepada Bambang Pamungkas dkk di lapangan hijau. Dag dig dug serrr...

Dag dig dug karena memang penampilan timnas Indonesia menghadirkan rasa deg-degan. Setelah tampil gemilang pada dua laga awal melawan Myanmar dan Kamboja, Tim Garuda seakan kehilangan cakarnya saat menghadapi Singapura di akhir penyisihan grup.

Kekalahan menyebabkan Indonesia harus menghadapi Thailand di semifinal. Dan, lagi-lagi perasaan deg-degan menempel lekat di hati fans sepak bola Indonesia. Hal itu tak lain disebabkan kekalahan 0-1 dari Thailand di Gelora Bung Karno. Menakar prestasi dan penampilan di penyisihan grup, anak-anak asuhan Peter Reid hampir mustahil dikalahkan di kandangnya sendiri.

Toh, bukan berarti kita harus langsung melempar handuk. Keajaiban kerap terjadi di lapangan hijau. Rakyat Indonesia masih boleh berharap keajaiban Piala Tiger 2004 kembali terulang saat ini.

Ketika itu, Indonesia juga kalah tipis di Gelora Bung Karno dari Malaysia. Namun membalas dengan kemenangan telak 4-1 begitu bermain di Malaysia.

Terlalu muluk? Bisa ya, bisa juga tidak. Bagaimanapun, harapan harus selalu dibangun. Mimpi harus selalu ada. Nah, kini pun kita bermimpi Indonesia bisa kembali meraih prestasi membanggakan dalam "perayaan" sweet seventeen-nya.

Namun, ketika pada akhirnya Indonesia gagal menjadi yang terbaik, jangan hentikan mimpi kita. Teruslah bermimpi untuk melihat kepak Garuda mengangkasa di jagat sepak bola. Bukankah segala hal yang baik itu awalnya juga berupa mimpi? Lagipula tak ada salahnya bermimpi. Gratis dan tidak makan hati ketika tidak terealisasikan. Lha wong cuma mimpi... (jalu)


NB: Artikel ini dibuat ketika timnas hendak meladeni Thailand pada semifinal kedua Piala AFF 2008, Desember lalu.