Saturday, July 18, 2009

Mimpi Menapaktilasi Messi

Tak banyak pemain sepak bola yang memiliki kesempatan tampil di sebuah laga puncak. Terlebih itu adalah laga pamungkas dari kompetisi sepak bola tertinggi di Benua Kuning, Piala Asia. Tapi, kesempatan emas itu datang menghampiriku.

”Kamu saya cantumkan dalam daftar pemain cadangan untuk pertandingan final besok,” tegas pelatihku, pada makan malam bersama seluruh pemain dengan Wakil Presiden RI, sehari sebelum pertandingan.

Begitu kalimat itu selesai diucapkan pelatih, ada aliran darah yang deras mengalir ke seluruh tubuhku. Jantungku tampaknya bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan hati ini sehingga dengan semangat tinggi memompa seluruh darah dari bilik jantung ke seluruh tubuh.

Bagaimanapun, bisa berada dalam daftar pemain untuk final Piala Asia merupakan sebuah kebanggaan besar untuk seorang pemain muda – termuda malah bila dibandingkan seluruh penggawa timnas – sepertiku. Meski itu hanya berstatus sebagai pemain cadangan.

Aku pun lantas mencoba menenangkan diri. Euforia ini tak boleh membuatku sulit tidur. Tidur yang cukup merupakan langkah awal untuk tampil baik pada sebuah pertandingan. Aku pun bersiap-siap menuju peraduan.

Sebelum tidur, tak lupa aku mempersiapkan segala perlengkapan untuk esok hari. Kubuka lemari pakaian. Terdapat satu buah kotak yang dibungkus dengan kertas kado. Kurobek kertas kado itu dan kutemukan sebuah surat.

Kubuka lalu kubaca, ”Sayang, selamat bertanding. Maaf Dinda enggak bisa ikut nemenin Kanda. Dinda cuma bisa bantu doa. Oiya, ini ada kado dari Dinda untuk kamu. Nanti pake yah pas tanding dan bikin gol. Good luck, Sayang. Love, Dinda.”


Kotak itu pun lalu kubuka. Kutemukan adidas F50i Spark berwarna biru cerah. Sepatu yang memang telah lama aku impi-impikan. Aku tersenyum lalu beranjak ke tempat tidur dan menempatkan sepatu itu di sebelah bantal.

Sebelum memejamkan mata, aku memanjatkan doa, ”Ya Allah, semoga aku bisa tampil baik dengan sepatu pemberian kekasihku ini, seperti yang dilakukan pemain idolaku, Lionel Messi, di final Liga Champions 2008-09. Amin.” Lalu aku pun tertidur.

Momen yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba. Pertandingan final Copa Indonesia pun dimulai. Duduk di bangku cadangan bukan berarti tak bisa berkontribusi. Aku bersama beberapa pemain lain di bangku cadangan tak henti berteriak menyemangati dari pinggir lapangan.

Sempat unggul lebih dulu pada babak pertama, Tim Merah-Pitih yang aku bela malah jadi tertinggal 1-2 dari Korea Selatan yang memang dikenal sebagai tim diesel. Pelbagai usaha telah dilakukan rekan-rekanku di lapangan, namun tetap gagal menyamakan kedudukan karena lawan yang bermain all-out defense. Memasukkan dua striker untuk mempertajam lini depan tak juga menunjukkan hasil. Padahal, waktu normal tinggal 5 menit lagi.

Tiba-tiba terdengar teriakan lantang pelatih. ”Kamu, masuk! Serahkan ini ke meja ofisial pertandingan,” ujar pelatihku. Aku pun berlari sambil merapikan baju. Penasaran aku ingin melihat nama pemain yang akan aku gantikan. Aku kaget. Bagaimana mungkin midfielder muda sepertiku menggantikan pemain paling karismatis negeri ini, Ponaryo Astaman.

Belum hilang kekagetanku, kertas itu pun kuserahkan kepada wasit keempat. Dia lantas mengatur angka pada papan digital. Terlihat angka 17 berwarna hijau di bawah tulisan ”In” dan angka 11 berwarna merah di bawah tulisan ”Out”.

Pengeras suara di stadion pun berbunyi. ”Substitution for Indonesia. Player number eleven, Ponaryo Astaman, replaces by player number seventeen, Gentza Manah.” Standing ovation lantas dilakukan penonton. Sempat ge-er, namun lantas aku tersadar jika hal itu dilakukan bukan untukku melainkan kepada Ponaryo. ”Kalahkan mereka,” bisik Ponaryo kepadaku.

Setelah mengucapkan doa, aku pun mantap memasuki lapangan pertandingan yang disaksikan puluhan ribu penonton yang memadati Gelora Bung Karno. Sayup-sayup terdengar teriakan penonton, ”Ayo, Kamu bisa, Anak Muda!”.

Situasi saat aku masuk adalah tendangan pojok bagi Korsel. Aku lantas menempatkan diri di sisi luar kotak penalti guna mengantisipasi pergerakan lawan jika ada bola muntah. Tendangan pojok sudah dilepaskan. Beruntung kiper Markus Harison bisa meninju bola keluar. Bola pun melayang dan jatuh tepat di dekat kakiku.

Satu-satunya yang ada di pikiranku saat itu adalah berlari membawa bola sekencang mungkin ke daerah lawan. Sejurus kemudian aku pun berlari menggiring bola. Teknologi transparent heel counter pada adidas F50i Spark baruku ini membuatku langkahku menjadi ringan. Dua orang pemain Korsel yang coba menghadangku berhasil kulewati.

Tanpa terasa, aku sudah berada sekitar 30 meter dari gawang lawan. Ada dua hal yang berada di pikiranku saat itu. Mencoba menusuk langsung ke kotak penalti lawan atau memberikan umpan ke samping mengingat aku di double team oleh dua pemain Korsel.

Tiba-tiba aku melihat ada sosok Bambang Pamungkas yang menunjukkan tangan di jantung pertahanan Korea. Tanpa pikir panjang, aku lantas melepaskan umpan silang dan langsung disambut sundulan kepala Bambang. Blasss... Bola pun merobek jala gawang Korsel. ”Gooolllll...” Teriak ribuan orang di Gelora Bung Karno.

Aku pun berlari menuju ke arah Bambang untuk merayakan euforia itu. Pemain lain pun melakukan hal serupa.”Nice pass,”ujar Bambang kepadaku.

Skor pun menjadi imbang 2-2. Hasil yang bertahan hingga waktu normal habis. Perpanjangan waktu pun dilakukan. Namun, setelah 2 X 15 menit, tak ada tambahan gol yang tercipta. Penentuan pemenang pun terpaksa dilakukan melalui adu penalti.

Pelatih lantas memanggil semua pemain. Nama-nama penendang sudah dia tulis di secarik kertas. ”Gentza, kamu penendang kelima!” seru dia. ”Siap!” balasku meski dalam hati deg-degan karena penendang kelima adalah penendang penentu. Beban yang ditanggung jelas yang paling berat. Kucoba menenangkan diri dengan berdoa guna mendapatkan kemantapan hati.

Sempat dibuat tegang karena penendang pertama Indonesia gagal, akhirnya kami bisa lega setelah tembakan penendang ketiga Korsel melambung di atas mistar gawang Markus. Kedudukan 3-3 pada adu penalti.

Penendang kelima Korsel pun maju menghadapi penalti. Tembakan sudah dilepaskan, namun dengan sigap Markus menepisnya. Aksi yang lantas menimbulkan suara tepuk tangan nan keras dari para penonton.

Giliranku pun tiba. ”Kamu pasti bisa,” bilang beberapa pemain kepadaku. Aku mantap melangkah menuju titik putih. Usaha kiper Korsel yang coba melakukan psy war dengan mengotak-atik bola di titik putih tak aku gubris. Hanya saja ucapan dia yang mengatakan aku akan bernasib seperti John Terry – yang terpeleset saat adu penalti pada final Liga Champions 2007-08, sempat menggoyahkan hatiku.

Aku pun berbalik badan untuk mengambil jarak menendang. Sambil berjalan, aku berdoa, ”Semoga aku bisa memenuhi janjiku kepada pacarku.” Aku pun mendapatkan lagi keyakinanku. Terlebih aku mengetahui stud key hitam yang aku pasang di F50i-ku ini mempunyai cengekeraman yang kuat terhadap tanah.

Sorot mata tajam aku arahkan ke gawang. Ancang-ancang telah dilakukan. Seperti idolaku yang lain, Marco van Basten, aku melompat kecil lalu berlari. Tembakan kaki kanan aku lepaskan. Lantaran teknologi sprintskin, aku bisa merasakan sentuhan bola di kakiku. Hal yang memudahkan aku mengarahkan tendangan ke pojok kanan atas gawang Korsel dan tak mampu dibendung kiper lawan.


”Yeah...!” Aku pun lantas berlari ke arah penonton. Aku lantas melakukan selebrasi bak Messi di final Liga Champions 2008-09. Melepas sepatu F50i-ku lalu menciumnya. Aku lantas menaiki pagar pembatas penonton. Namun lantaran hanya berpijak kepada kaos kaki kananku yang basah, aku pun tergelincir dan jatuh dari pagar pembatas.

Gubrak!!! Aku pun tersadar dan melihat langit-langit kamar kostku. Kulirik ke kanan dan kumelihat ada poster Messi sedang mencium sepatu kanannya usai membobol gawang Edwin van der Sar di Stadion Olimpico. Ahh... ternyata ini semua hanyalah mimpi.

Kulihat jam di dinding. Waks… sudah pukul 3 sore. “Bisa terlambat latihan sepak bola di kampus nih...”. Begitu pikirku. Aku pun lantas menyambar handuk yang menggantung dan menuju pintu untuk keluar ke kamar mandi.

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh kehadiranku pacarku yang sudah ada di depan pintu. ”Selamat ulang tahun sayang,” ucap dia sambil melayangkan kecupan ke pipiku. ”Ini ada kado untuk kamu. Buka deh. Kamu pasti suka. Apalagi kan kamu mau latihan sekarang,” ujar dia lagi.

Kotak berbungkus kertas kado merah itu pun kubuka. Aku pun kaget setengah mati. Sepasang sepatu adidas F50i Spark berwarna biru. Persis seperti yang dipakai Lionel Messi dan juga mimpiku...


(FOTO-FOTO: DOK. TABLOID SOCCER)